Business Law Creative Media Vol. 2

Business Law Division

Ahmad Yusuf

8/2/20259 min read

LATAR BELAKANG

Pemerintah dalam upaya menguatkan transformasi sistem keuangan telah melakukan berbagai tindakan dengan mengeluarkan regulasi mengenai kewajiban terhadap unit usaha syariah untuk melakukan pemisahan dari lembaga jasa keuangan konvensional, seiring dengan perkembangannya pemerintah juga membentuk Badan untuk mengintegrasikan BUMN di seluruh sektor. Penerapan dari pengintegrasian tersebut salah satunya melalui rencana pengalihan kontrol atas PT Bank Syariah Indonesia Tbk (“PT BSI”) ke dalam lembaga pengelola investasi Danantara pada tahun 2025. PT BSI merupakan hasil penggabungan Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah yang secara resmi bergabung menjadi satu entitas pada tanggal 1 Februari 2021. Langkah strategis ini dinilai sebagai bagian dari konsolidasi industri keuangan syariah nasional, sekaligus upaya untuk memperkuat posisi PT BSI sebagai aktor utama dalam ekosistem ekonomi syariah domestik. Menteri Badan Usaha Milik Negara, Erick Thohir, menyatakan bahwa proses Pengalihan Kontrol PT BSI oleh Danantara tersebut masih berada dalam tahap kajian yang dilakukan oleh Danantara sebagai entitas penerima.

Secara yuridis, PT BSI merupakan Bank Umum Syariah (“BUS”) yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Bank Umum Syariah (“POJK 12/2023”). PT BSI memiliki bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (“PT”) yang tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”) serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”). Status sebagai BUS menegaskan bahwa setiap tindakan korporasi, harus berada dalam koridor hukum yang mengatur operasional entitas keuangan syariah serta memperhatikan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap ketentuan syariah, dan perlindungan konsumen.

Daya Anagata Nusantara (“Danantara”) merupakan badan pengelola investasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”). Perubahan regulasi tersebut memuat pengaturan mengenai tugas, kewenangan, serta struktur kelembagaan Danantara sebagai instrumen negara dalam mengelola dan mengoptimalkan investasi milik pemerintah. Fungsi Danantara dalam hal ini ditujukan untuk mendukung akselerasi pembangunan ekonomi nasional melalui skema pembiayaan jangka panjang yang bersumber dari pengelolaan aset strategis negara secara terintegrasi dan produktif.

Rencana pemisahan PT BSI ke dalam struktur Danantara tidak hanya merepresentasikan reorganisasi kelembagaan semata, tetapi juga mencerminkan semangat reformasi sistemik untuk mewujudkan ekosistem syariah yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan dalam satu kerangka investasi nasional. Pemisahan ini turut sejalan dengan tren pelepasan Unit Usaha Syariah (“UUS”) yang dilakukan oleh institusi lain seperti PT CIMB Niaga Tbk - unit syariah dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk - unit syariah. Konsolidasi kelembagaan melalui skema Spin Off dinilai sebagai instrumen strategis dalam memfasilitasi kemandirian keuangan syariah yang memiliki daya saing di tingkat nasional dan regional.

Aksi korporasi yang dilakukan dalam rangka pengembangan dan penguatan jasa keuangan syariah baik pada saat Spin Off UUS menjadi BUS maupun rencana Pengintregrasiannya dengan Danantara mennyisakan berbagai pertanyaan mengenai legalitas maupun mekanisme yang harus dilakukan untuk menjamin pembangunan sistem keuangan syariah yang berkelanjutan.

Pembahasan

Ketentuan dan mekanisme Spin Off bagi Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah berdasarkan perspektif UU 21/2008 dan UU 40/2007

UU 21/2008 secara eksplisit memuat ketentuan mengenai mekanisme pemisahan UUS dari induk Bank Umum Konvensional (“BUK”) untuk dibentuk menjadi entitas mandiri dalam bentuk BUS. Dalam ketentuan tersebut, istilah “Spin Off” merujuk pada proses pemisahan usaha dari satu badan hukum menjadi dua atau lebih badan hukum yang berdiri sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemisahan ini dapat dilaksanakan secara sukarela oleh BUK, maupun secara mandatori apabila telah memenuhi syarat objektif tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ketentuan kewajiban pemisahan secara mandatori diatur dalam Pasal 68 UU 21/2008 yang menyatakan bahwa BUK wajib melakukan pemisahan UUS apabila nilai aset UUS telah mencapai paling sedikit 50% dari total aset bank induk atau paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Dalam hal ini, batas waktu pelaksanaan tersebut memberikan dorongan yang mengikat bagi seluruh BUK yang memiliki telah UUS untuk melakukan reorganisasi kelembagaan sebagai bagian dari arsitektur dual banking system yang sedang dikembangkan di Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut, Bank Indonesia (“BI”) menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah (“PBI 11/2009”) yang secara teknis mengatur skema pemisahan serta sanksi administratif apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Merujuk Pasal 43 ayat (1) PBI 11/2009 bahwa BUK yang tidak melaksanakan pemisahan sesuai ketentuan akan dikenakan sanksi administratif, salah satunya pencabutan izin usaha pada UUS. Mekanisme pemisahan ini diatur melalui dua jalur, yaitu: (i) pendirian BUS baru oleh BUK dengan mengalihkan seluruh hak dan kewajiban UUS; dan (ii) pengalihan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada dan berdiri secara terpisah.

Salah satu skema pemisahan UUS yang sebagaimana diatur dalam PBI 11/2009 merupakan pendirian BUS baru oleh BUK sebagai induk. Model ini mensyaratkan pemenuhan ketentuan permodalan dan perizinan yang bersifat tegas dan bertahap, sebagai bagian dari upaya menjamin kemandirian, integritas, dan keberlangsungan entitas hasil pemisahan. Berdasarkan Pasal 45 PBI 11/2009, pendirian bank hasil pemisahan wajib didukung dengan modal disetor paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), hal ini dapat direalisasikan dalam bentuk tunai dan/atau aset lainnya yang diperuntukkan bagi operasional. Selain itu, terdapat kewajiban untuk meningkatkan modal disetor secara bertahap hingga mencapai sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dalam jangka waktu paling lama sepuluh tahun sejak izin usaha diterbitkan. Ketentuan ini dirancang untuk memastikan bahwa bank hasil pemisahan memiliki kapasitas keuangan yang memadai serta mampu menjalankan kegiatan usaha secara mandiri dan berkelanjutan.

Pemberian izin pendirian bank dilakukan dalam dua tahap yuridis, yakni persetujuan prinsip dan izin usaha yang sebagaimana diatur dalam Pasal 46 PBI 11/2009. Persetujuan prinsip diberikan sebagai legal basis untuk memulai proses persiapan pendirian, sedangkan izin usaha menjadi prasyarat mutlak untuk memulai kegiatan operasional. Apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya persetujuan prinsip BUK tidak mengajukan izin usaha, maka persetujuan tersebut dinyatakan gugur dan tidak berlaku, pun juga yang sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 48 PBI 11/2009. Setelah memperoleh izin usaha, bank hasil pemisahan diwajibkan memulai kegiatan operasional dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan kepada otoritas pengawas paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah kegiatan dimulai. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengawasan berbasis waktu yang ditujukan untuk memastikan transisi kelembagaan telah berlangsung secara tertib, akuntabel, dan sesuai dengan rencana bisnis yang telah ditetapkan.

Selain itu, Spin Off dapat dilakukan dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada. Dalam skema ini, BUK tidak mendirikan entitas baru, tetapi mengalihkan seluruh aspek kelembagaan dan operasional UUS kepada penerima yang telah memiliki izin usaha sebagai BUS. Pelaksanaan skema ini mensyaratkan persetujuan dari BI yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 52 PBI 11/2009 dan wajib diumumkan secara terbuka kepada publik dalam jangka waktu paling lambat sepuluh hari setelah persetujuan diperoleh yang juga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 dan Pasal 54 PBI 11/2009. Ketentuan mengenai tata cara, persyaratan administratif, dan kewajiban pelaporan tercantum secara sistematis dalam bagian tersebut, termasuk pemenuhan prinsip keterbukaan informasi dan perlindungan terhadap keperluan pemangku kepentingan.

Spin Off yang dilakukan pada Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) merupakan aksi korporasi yang tunduk pada pengaturan hukum yang bersifat dualistik, yaitu UU 21/2008 dan UU 40/2007. Dalam praktiknya, pemisahan dilakukan sebagai bagian dari restrukturisasi kelembagaan, penguatan tata kelola, dan diversifikasi entitas untuk menunjang efisiensi serta pertumbuhan usaha. Sebagai entitas yang tunduk pada ketentuan permodalan negara dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas publik dalam setiap kebijakan pemisahan.

Dalam tataran konsep, Spin Off secara umum merujuk pada bentuk pengembangan dari suatu kegiatan usaha yang telah ada sebelumnya, di mana hal ini dikaitkan dengan pembentukan entitas baru yang menciptakan aktivitas perekonomian yang baru tetapi memiliki kemiripan dalam hal karakteristik atau fungsi dengan organisasi asal . Proses ini tidak hanya berdampak pada struktur organisasi dan kegiatan usaha, tetapi juga menyangkut alih kepemilikan, pengelolaan risiko, serta distribusi aset dan kewajiban. Oleh karena itu, Spin Off BUK dan UUS berbentuk BUMN harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan internal perseroan dan perlindungan terhadap pihak eksternal atau mitra.

Secara normatif, UU 40/2007 telah mengatur jenis konsekuensi hukum dari pemisahan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 135 mengenai perbedaan pemisahan murni dan pemisahan tidak murni. Pemisahan murni merupakan pemisahan yang menyebabkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih, dan membuat status perseroan induk berakhir. Sementara itu, pemisahan tidak murni merupakan pemisahan dimana sebagian aktiva dan pasiva beralih kepada satu atau lebih perseroan penerima, dan perseroan yang melakukan pemisahan tetap eksis sebagai badan hukum. Kedua jenis pemisahan ini memungkinkan fleksibilitas bagi badan usaha dalam memilih bentuk reorganisasi yang paling sesuai dengan kebijakan korporasi dan strategi jangka panjang, tanpa menghilangkan pertanggungjawaban hukum terhadap para pemangku kepentingan.

Pelaksanaan Spin Off BUK berbentuk BUMN dengan UUS miliknya juga wajib mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam Pasal 127 UU 40/2007. Ketentuan ini mewajibkan adanya persetujuan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89 UU 40/2007. Sebelum penyelenggaraan RUPS, Direksi perseroan wajib melakukan pengumuman terbuka paling sedikit melalui satu surat kabar dan pemberitahuan tertulis kepada karyawan, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Prosedur ini menjamin transparansi dan keterlibatan seluruh pihak terdampak dalam proses pengambilan keputusan.

Selanjutnya, publikasi rencana pemisahan tersebut harus memuat informasi bahwa kreditur dan pihak berkepentingan dapat mengakses dokumen rancangan pemisahan sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS. Kreditur diberikan hak untuk mengajukan keberatan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pengumuman. Apabila keberatan tersebut tidak disampaikan, maka secara hukum dianggap telah menyetujui. Namun, jika keberatan diajukan dan tidak dapat diselesaikan oleh Direksi sebelum tanggal RUPS, maka persoalan tersebut wajib disampaikan dalam forum RUPS guna memperoleh penyelesaian. Selama belum tercapainya kesepakatan, pelaksanaan Spin Off tidak dapat dilanjutkan.

Lebih lanjut, ketentuan dalam Pasal 127 ayat (8) UU 40/2007 menegaskan bahwa mekanisme pengumuman dan keberatan dalam proses pemisahan berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengambilalihan saham langsung dari pemegang saham, yang sebagaimana diatur dalam Pasal 125 UU 40/2007. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesetaraan prosedural antara tindakan pemisahan dan tindakan pengambilalihan yang berdampak pada struktur pengendalian perusahaan. Dengan demikian, pelaksanaan Spin Off pada BUS yang berbentuk BUMN merupakan tindakan hukum yang kompleks dan harus dilaksanakan dalam kerangka kepatuhan terhadap prinsip Good Corporate Governance, kehati-hatian, dan akuntabilitas perseroan.

Peralihan Kendali Pada BUS yang Berbentuk BUMN Pada Danantara

Perubahan terhadap Undang-Undang BUMN yang tertuang dalam UU 1/2025 mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Badan Pengelola Investasi yakni, Danantara yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara. Nantinya, Danantara akan melakukan pengelolaan terhadap BUMN dengan tujuan untuk mengelola investasi secara terintegrasi dengan mengelola aset negara yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, Danantara nantinya juga akan melakukan pengelolaan terhadap dividen, pemberdayaan aset dari BUMN serta tugas lain yang ditentukan oleh Regulator untuk memastikan penggunaan dan pengelolaan aktiva BUMN dilakukan secara tepat dan optimal.

Dalam melaksanakan tujuan pendiriannya Danantara dapat melakukan dengan beberapa cara sesuai dengan Pasal 3H dan 3I UU 1/2025 diantaranya dengan melakukan investasi langsung maupun tidak langsung, serta kerjasama pengelolaan aset dengan pihak ketiga, baik melalui kuasa kelola maupun bentuk kerja sama lain, nantinya keuntungan dan kerugian dari investasi tersebut menjadi tanggung jawab Danantara.

Pengambilalihan kuasa kelola terhadap BUMN termasuk didalamnya yang berbentuk BUS dapat dilakukan dengan berbagai metode dengan tetap memperhatikan prinsip Good Corporate Governance diantaranya:

  1. Akuisisi dengan membeli sebagian besar dari saham BUS dari pemegang saham lama

    Sesuai dengan amanat UU 1/2025 Danantara akan memiliki modal paling sedikit 1 Triliun yang dapat digunakan untuk melakukan pengambilalihan terhadap BUMN dengan mengendalikan saham mayoritas

  2. Right Issue

    BUS terlebih dahulu mengajukan penambahan modal melalui right issue dengan menentukan harga pelaksanaan right issue dimana BUMN yang menjadi pemegang saham BUS dapat melepaskan haknya. Setelah pelaksanaan right issue komposisi kepemilikan saham BUS akan beralih ke Danantara.

Kontrol Danantara terhadap BUMN berbentuk BUS nantinya akan tetap diawasi oleh Dewan Pengawas dan Badan Pemeriksa Keuangan sesuai ketentuan Pasal 3K UU 1/2025, serta harus dijalankan sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan peraturan pelaksananya. Danantara sebagai badan hukum Indonesia sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

KESIMPULAN

Mekanisme Spin Off BUK dan UUS secara hukum diatur melalui dua instrumen utama, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-Undang Perbankan Syariah, Spin Off dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mendirikan BUS baru atas izin OJK dengan minimal modal yang disetor sebesar 500.000.000.000,00 (lima ratus milyar rupiah) dan dengan melakukan pengalihan hak dan kewajiban UUS oleh BUK kepada BUS yang telah ada dengan persetujuan BI. Sementara itu, mekanisme Spin Off menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas telah dijelaskan secara rigid dalam Pasal 127 UU tersebut. Selain itu, Pengelolaan aset BUS yang berstatus sebagai BUMN oleh Danantara telah diatur dan diamanatkan dalam UU 1/2025 dan peraturan turunannya yang bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh pengelolaan terhadap BUMN termasuk yang berbentuk BUS.

DAFTAR PUSTAKA

Regulasi

  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 Tentang Organisasi dan Tata Kelola Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara

  5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah

  6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 59/POJK.03/2020 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan Unit Usaha Syariah

  7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Bank Umum Syariah


Artikel

  1. Akashi, N. U. “Apa itu Danantara dan Apa Kaitannya dengan BUMN? Ini Penjelasan Singkatnya”. 25 Februari 2025. Dapat diakses di: https://www.detik.com/jateng/bisnis/d-7794538/apa-itu-danantara-dan-apa-kaitannya-dengan-bumn-ini-penjelasan-singkatnya

  2. Priambodo, D. dan Hannany, Z. “Erick Thohir: Spin Off BRIS dari Bank Mandiri Masih Dikaji”. 4 Juni 2025. Dapat diakses di: https://www.idnfinancials.com/id/news/55008/erick-thohir-Spin Off-bris-dari-bank-mandiri-masih-dikaji

  3. Rasyid, A. “Spin Off Unit Usaha Syariah Bank Umum Konvensional”. Maret 2016. Dapat diakses di: https://business-law.binus.ac.id/2016/03/28/Spin Off-unit-usaha-syariah-bank-umum-konvensional/

Savitri, P. M. “BSI Bank Hasil Merger Sekarang Berencana di Spin Off”. 11 Juni 2025. Dapat diakses di: https://smartlegal.id/badan-usaha/aksi-korporasi/2025/06/11/bsi-bank-hasil-merger-sekarang-berencana-di-Spin Off-sl-gt/

Spin Off Unit Usaha Syariah dan Pengalihan Kontrol atas Badan Usaha Syariah pada Danantara Pasca Terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2025