Business Law Creative Media Vol. 3

Business Law Division

Jonathan Sylvester Valentino Nababan dan Miranda Kezia Sidabutar

11/19/202514 min read

Special Purpose Acquisition Companies: Navigating the Complexities of Sustainable Growth and Investor Protection

Latar Belakang

Fenomena baru dalam dunia keuangan yang dikenal dengan Special Purpose Acquisition Company (“SPAC”) telah mengguncang pasar modal global dalam beberapa tahun terakhir. SPAC merupakan entitas perusahaan yang dibentuk dengan tujuan untuk mengumpulkan dana melalui Initial Public Offering (IPO) yang kemudian melakukan akuisisi terhadap perusahaan swasta. Skema ini memberikan jalur alternatif yang lebih cepat bagi perusahaan untuk go-public tanpa melalui skema IPO pada umumnya yang sering kali memiliki kompleksitas yang tinggi dan memakan waktu. Dalam proses yang dikenal dengan de-SPAC, perusahaan yang dituju untuk diakuisisi oleh SPAC secara langsung menjadi entitas yang terdaftar di bursa efek, guna untuk menyederhanakan prosedur dan mempercepat akses ke pasar modal yang lebih luas.

Dalam dinamika perkembangan SPAC, terutama sejak puncak popularitasnya pada tahun 2020 dan 2021, telah mengubah lanskap pasar modal global. Di Amerika Serikat, yang menjadi pelopor tercatat lebih dari 600 SPAC telah mengumpulkan dana lebih dari USD 160 miliar dalam waktu singkat. Menariknya, fenomena SPAC tidak lagi terbatas di Amerika Serikat, melainkan mulai merambah ke Eropa, Asia, hingga negara-negara berkembang, yang membuka pintu bagi instrumen di pasar modal mereka. Namun demikian, meskipun skema ini menawarkan banyak keuntungan kemunculan SPAC juga menimbulkan tantangan terkait transparansi, pengawasan, dan perlindungan investor.

Di Indonesia, meskipun pasar modal terus berkembang, SPAC belum mendapatkan tempat yang jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU PM”) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) saat ini belum memadai untuk mengakomodasi struktur SPAC sehingga menimbulkan pertanyaan serius terkait perlindungan bagi investor yang berpartisipasi dalam SPAC. Ketidaksesuaian antara regulasi yang berlaku dan karakterisik SPAC yang berbasis pada struktur “cangkang” tanpa operasional bisnis nyata menciptakan ketidakpastian yang berisiko pada integritas pasar modal Indonesia. Oleh karena itu, masalah yang timbul dari skema ini lebih menitikberatkan pada hal tata kelola dan transparansi dalam transaksi SPAC yang memerlukan atensi khusus dari otoritas yang berwenang.

Secara nyata, skema SPAC membawa permasalahan utama terkait pengawasan pasar, terutama dalam melindungi investor dari potensi risiko terkait konflik kepentingan antara sponsor dan investor, serta potensi informasi yang tidak akurat. Dengan demikian, diperlukan penyesuaian regulasi yang lebih ketat dan dapat memastikan perlindungan yang adil dan transparan bagi investor, sekaligus mengakomodasi karakteristik SPAC yang kompleks. Otoritas yang berwenang, khususnya Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dan Bursa Efek Indonesia (“BEI”), harus menciptakan upaya untuk menyusun kerangka hukum yang mengatur dengan jelas mengenai skema operasional SPAC yang juga mengutamakan perlindungan hak-hak investor. Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mengeksplorasi perkembangan SPAC dalam konteks pasar modal global, dengan menyoroti tantangan yang muncul dalam penerapannya di pasar modal Indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis yang mendalam mengenai dampak dari keberadaan SPAC terhadap pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) dan perlindungan investor, dengan menilai potensi perubahan regulasi yang perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan investasi yang aman dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi pembuat kebijakan dan regulator pasar modal Indonesia dalam merumuskan kebijakan yang seimbang antara inovasi pasar dan perlindungan investor.

Bagaimana SPAC memberikan keuntungan strategis bagi perusahaan dan pasar modal di Indonesia, sekaligus menghadapi tantangan hukum dan regulasi yang membatasi implementasinya?

Skema SPAC menawarkan serangkaian keuntungan strategis, yang apabila diatur dan diawasi secara tepat, dapat berperan sebagai katalisator penting bagi pertumbuhan pasar modal dan penguatan ekosistem startup di Indonesia. Melalui skema yang berbeda dari IPO, SPAC mampu menyiapkan jalur alternatif pembiayaan publik yang lebih adaptif bagi perusahaan yang membutuhkan percepatan ekspansi usaha. Dengan memperhatikan perkembangan tersebut, pembahasan ini menguraikan dua aspek utama dari skema SPAC, yakni sebagai berikut:

  1. Keuntungan Strategis Skema SPAC

Kecepatan dan Efisiensi Biaya (Speed and Cost Efficiency)

Salah satu daya tarik utama SPAC terletak pada kemampuannya untuk menawarkan jalur menuju pasar publik secara signifikan lebih cepat dan efisien dibandingkan dengan IPO. Proses IPO di Indonesia kerap kali melibatkan periode persiapan regulasi yang panjang, audit keuangan yang ekstensif, serta kegiatan roadshow yang memerlukan waktu dan biaya besar. Sebaliknya, SPAC telah terlebih dahulu terdaftar di bursa sehingga penggabungan dengan perusahaan target secara substansial dapat mempercepat waktu menuju listing. Bagi perusahaan domestik dengan tingkat pertumbuhan tinggi seperti unicorn atau decacorn yang memerlukan modal segera untuk memanfaatkan peluang bisnis yang bergerak cepat, efisiensi waktu tersebut menjadi elemen yang sangat berharga. Selain itu, proses SPAC juga membutuhkan lebih sedikit dokumen regulatif dan keterlibatan administratif dibandingkan IPO yang menekan beban biaya hukum, audit, serta biaya penjamin emisi yang biasanya melekat pada prosesnya. Efisiensi tersebut pada akhirnya meningkatkan daya tarik SPAC sebagai opsi strategis bagi perusahaan yang ingin segera mengakses pasar modal tanpa menanggung kompleksitas birokrasi yang panjang.

Fleksibilitas Valuasi dan Kepastian Harga Target

Keunggulan lain dari struktur SPAC terletak pada fleksibilitas dalam menentukan valuasi dan kepastian harga saham bagi perusahaan target sebelum listing di pasar publik. Dalam skema ini, penentuan valuasi dilakukan melalui negosiasi langsung antara sponsor SPAC dan manajemen perusahaan target, yang kemudian disahkan oleh pemegang saham SPAC. Skema tersebut memberikan ruang yang lebih besar untuk mencapai kesepakatan harga yang mencerminkan potensi dan proyeksi bisnis jangka panjang perusahaan, bukan semata-mata hasil dari dinamika permintaan dan penawaran pasar pada hari perdagangan pertama. Berbeda dengan IPO yang sering kali bergantung pada sentimen pasar dan faktor eksternal, SPAC menawarkan kepastian valuasi yang dapat mengurangi risiko volatilitas harga saham di awal perdagangan. Bagi manajemen perusahaan dan investor awal, kepastian ini menjadi instrumen mitigasi risiko yang penting dalam menjaga stabilitas nilai perusahaan pasca listing sekaligus membangun kepercayaan pasar terhadap struktur penggabungan yang dilakukan.

Akses terhadap Keahlian dan Jaringan Sponsor (Sponsor Expertise)

Keunggulan perusahaan yang menjadi target akuisisi SPAC juga memperoleh nilai tambah berupa akses terhadap keahlian, pengalaman, dan jaringan profesional dari pihak sponsor. Secara umum, sponsor SPAC terdiri atas profesional keuangan terkemuka, manajer dana ekuitas swasta, atau pakar industri yang memiliki rekam jejak kuat dalam tata kelola korporasi dan strategi ekspansi bisnis. Keterlibatan sponsor berperan penting dalam memberikan kredibilitas, bimbingan strategis, serta pengawasan manajerial bagi perusahaan yang mungkin belum berpengalaman dalam tata kelola entitas publik. Bagi perusahaan startup di Indonesia yang tengah berkembang pesat, keberadaan sponsor ini dapat memperkuat kepercayaan investor sekaligus mempercepat kesiapan korporasi untuk beroperasi di pasar modal.

Potensi Menarik Perusahaan Teknologi Besar ke BEI

Salah satu prospek terbesar dari pengaturan SPAC di Indonesia adalah kemampuannya untuk menarik minat perusahaan teknologi domestik berkapitalisasi besar (unicorn dan decacorn) agar dapat melantai di BEI. Selama ini, banyak perusahaan dengan valuasi tinggi enggan melalui jalur IPO karena kompleksitas regulasi, ketidakpastian harga, dan persyaratan keterbukaan yang ketat. Melalui skema SPAC, perusahaan teknologi dapat memperoleh alternatif yang lebih efisien dengan proses due diligence yang lebih ringkas serta fleksibilitas negosiasi yang lebih besar. Di yurisdiksi seperti Amerika Serikat, SPAC telah terbukti menjadi instrumen efektif dalam membawa perusahaan dengan pertumbuhan tinggi ke pasar publik melalui proses yang lebih cepat dan transparan. Apabila didukung dengan regulasi yang adaptif dan pengawasan yang memadai, skema SPAC berpotensi menjadi sarana strategis dalam memperkuat daya saing pasar modal Indonesia, meningkatkan basis emiten di sektor teknologi, serta mempercepat integrasi Indonesia ke dalam ekosistem investasi global.

  1. Tantangan hukum struktural

Konflik Struktural dengan UU PT

Salah Hambatan yuridis paling krusial terletak pada ketentuan Pasal 122 dan Pasal 123 UU PT yang mewajibkan setiap rencana penggabungan usaha untuk disertai laporan keuangan historis selama tiga tahun terakhir. Kewajiban ini sulit dipenuhi oleh SPAC yang pada dasarnya merupakan perusahaan baru tanpa rekam jejak keuangan karena belum menjalankan kegiatan usaha. Dalam praktik internasional, tahap penggabungan antara SPAC dan perusahaan target de-SPAC seringkali diperlakukan sebagai reverse merger, yaitu ketika entitas publik yang tidak beroperasi bergabung dengan entitas privat yang aktif. Namun, dalam konteks hukum Indonesia, keterbatasan data historis keuangan tersebut dapat dianggap tidak memenuhi syarat formal penggabungan sebagaimana diatur dalam UU PT, yang pada akhirnya menghambat operasionalisasi SPAC di Indonesia.

Selain itu, perbedaan mendasar juga muncul dalam aspek tujuan usaha. UU PT secara tegas mengatur bahwa setiap Perseroan Terbatas harus memiliki kegiatan usaha yang jelas, berorientasi laba, dan dilakukan secara berkelanjutan. Di sisi lain, SPAC dibentuk semata-mata untuk melakukan akuisisi terhadap perusahaan target dan tidak memiliki kegiatan usaha riil sebelum proses penggabungan dilaksanakan. Konsep perusahaan cangkang (shell company) seperti SPAC ini secara substantif tidak sejalan dengan asas pendirian perseroan di Indonesia yang menekankan prinsip keberlanjutan usaha (going concern principle). Oleh karena itu, agar SPAC dapat beroperasi dalam kerangka hukum nasional, diperlukan interpretasi hukum baru atau pengecualian formal dari regulator, baik melalui peraturan OJK maupun revisi terhadap peraturan pelaksanaan UU PT

Isu Pengaturan Penerbitan Saham dan Pengelolaan Modal

Tantangan berikutnya, berkaitan dengan mekanisme pengelolaan dana hasil penawaran saham publik dan pengaturan modal SPAC. Secara internasional, model bisnis SPAC menuntut agar seluruh dana publik yang dihimpun dari investor ditempatkan dalam rekening escrow atau trust account hingga akuisisi diselesaikan. Pengamanan dana tersebut berfungsi sebagai mekanisme perlindungan investor untuk memastikan bahwa modal hanya dapat digunakan sesuai tujuan akuisisi yang disetujui. Namun, di Indonesia belum terdapat pengaturan eksplisit yang mengatur kewajiban pembentukan rekening escrow, independensi pengelolanya maupun jenis instrumen investasi yang diperkenankan selama dana tersebut mengendap. Kekosongan pengaturan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal hak penebusan (redemption rights) apabila akuisisi gagal atau batal dilaksanakan sehingga untuk menjamin keamanan dana publik, OJK dan BEI perlu menetapkan aturan teknis yang memastikan dana investor dapat dikembalikan sepenuhnya tanpa hambatan prosedural.

Selain pengelolaan dana, aspek lain yang memerlukan atensi serius berkaitan dengan pengaturan warrants, potensi dilusi saham, dan pengawasan terhadap sponsor. Dalam struktur SPAC, saham publik dan saham sponsor biasanya disertai dengan warrants atau opsi beli saham yang dapat dieksekusi di masa mendatang. Komponen ini berpotensi menimbulkan dilusi saham yang signifikan bagi investor publik ketika warrants tersebut digunakan. Risiko ini semakin besar apabila sponsor menjual saham promosi (founder shares) segera setelah proses de-SPAC selesai, yang dapat menekan harga saham dan menimbulkan ketidakstabilan harga pasar. BEI sendiri telah menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan keandalan sponsor untuk menjaga integritas pasar. Oleh karena itu, peraturan mengenai SPAC perlu menetapkan batasan rasio warrants, periode penguncian (lock-up period) yang lebih panjang untuk saham sponsor, serta mekanisme pengawasan terhadap perilaku sponsor pasca-merger guna melindungi investor dan mencegah praktik manipulatif dalam perdagangan saham.

Bagaimana negara lain menerapkan SPAC dalam ketentuan peraturan yang berlaku?

  1. Amerika Serikat

SPAC berkembang dari blank check companies pada tahun 1980-an yang sempat dilarang akibat masifnya penipuan terhadap investor publik. Setelah pengimplementasian Penny Stock Reform Act (“PSRA”) 1990, struktur SPAC dimodifikasi untuk menekankan risiko moral hazard dan meningkatkan kepercayaan investor. Semenjak tahun 2000-an, SPAC menjadi instrumen populer di pasar modal Amerika Serikat karena memberikan jalur cepat (fast track) dan efisien untuk go public, terutama bagi perusahaan rintisan dengan evaluasi tinggi tetapi belum profit. Pada akhirnya ketika tahun 2024, SEC mengembangkan tiga area pengaturan, yakni:

  1. Peningkatan persyaratan pengungkapan;

  2. Penggunaan proyeksi; dan

  3. Kewajiban SPAC sebagai penerbit.

Pengawasan SPAC dalam kerangka regulasi Amerika Serikat adalah pencegahan terjadinya kesalahan informasi, seperti kasus Nikola Corporation yang dijatuhi hukuman karena terbukti bersalah atas penipuan yang menyesatkan investor.

  1. Singapura

Kerangka pencatatan SPAC di Singapore Exchange (“SGX”) secara umum terdiri atas dua bagian besar. Bagian utama diatur dalam Mainboard Rules, khususnya Rule 210 (11) yang membentuk kerangka dasar bagi seluruh siklus SPAC di Singapura. Hal tersebut diawali dengan persyaratan awal untuk mencatatkan saham di bursa, hingga ketentuan tahap akhir, seperti kombinasi bisnis, likuidasi, dan pencabutan pencatatan (delisting). Selain itu, terdapat aturan tambahan dalam Rules 625, 626, dan 754 yang memuat rincian persyaratan dan kewajiban khusus yang harus dipenuhi SPAC selama masa pencatatan di SGX.

Pada dasarnya, meskipun dengan bentuk berbeda daripada IPO, SPAC menjalankan fungsi serupa, yakni menjadi sarana penghimpunan modal publik untuk diinvestasikan dalam kegiatan usaha produktif sehingga kerangka hukum SPAC di Singapura tunduk pada prinsip dan rezim hukum sekuritas yang sama dengan IPO, terutama dalam hal perlindungan terhadap investor publik dan integritas pasar modal.

Penerapan SPAC Singapura mencakup lima bidang utama pengaturan. Pertama, SGX menetapkan ambang batas masuk (admission threshold) dan jaminan likuiditas (liquidity guarantee) yang tinggi untuk memastikan kualitas dan kredibilitas transaksi merger dalam proses de-SPAC. Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga minat dan kepercayaan investor publik, khususnya investor ritel. Dalam hal ini, SGX memberi syarat agar setiap SPAC memiliki kapitalisasi pasar minimum sebesar $150 juta. Setelah merger selesai dan perusahaan hasil kombinasi mulai beroperasi, jumlah pemegang saham publik harus meningkat, setidaknya 500 orang sebagaimana ditentukan dalam Rule 210(1) huruf a. Kedua, SGX menerapkan skema keseimbangan antara sponsor dan investor publik guna mencegah penyalahgunaan posisi sponsor. Dalam menanggapi berbagai masukan publik yang mengusulkan agar SPAC hanya diperuntukkan bagi investor institusional, SGX memilih jalan tengah dengan mensyaratkan adanya keterkaitan langsung antara kepentingan sponsor dan pemegang saham publik. Sponsor dan tim manajemen diwajibkan untuk berpartisipasi dalam bentuk kepemilikan ekuitas minimum, sebesar 3,5%, 3,0%, atau 2,5% tergantung pada tingkat kapitalisasi pasar SPAC. Selain itu, SGX juga membatasi kepemilikan sponsor maksimum sebesar 20% apabila sponsor tidak memberikan kontribusi modal yang setara dengan investor publik. Untuk mencegah spekulasi dan menjaga stabilitas saham, diberlakukan masa moratorium selama enam bulan setelah transaksi merger diselesaikan sehingga sponsor tidak diperkenankan menjual kepemilikannya. Ketiga, ketentuan mengenai penempatan dana (escrow requirements) menjadi aspek sentral dalam perlindungan investor. SGX mewajibkan setiap SPAC untuk menempatkan sekurang-kurangnya 90% dari seluruh dana hasil IPO ke dalam rekening escrow yang dikelola oleh pihak independen, yaitu lembaga keuangan yang berlisensi di bawah Monetary Authority of Singapore (MAS). Dana tersebut harus disimpan sepenuhnya dalam rekening escrow hingga SPAC menyelesaikan merger atau dilikuidasi. Di samping itu, SGX juga membatasi tingkat konversi waran atau instrumen konversi lainnya hingga maksimal 50% dari batas dilusi sebagaimana tercantum dalam Rule 210(11) huruf k. Keempat, SGX memberikan pengaturan yang rinci mengenai hak suara (voting rights) dalam proses pengambilan keputusan merger. Regulasi baru ini menjawab tiga isu pokok, yaitu kelayakan pemegang hak suara, pelaksanaan hak suara, dan mekanisme keluar bagi investor. Dalam hal kelayakan, SGX memperbolehkan semua pemegang saham, termasuk sponsor pendiri untuk ikut memberikan suara dalam pemungutan keputusan merger, tetapi dengan kewajiban bahwa sponsor harus melepaskan hak untuk menerima hasil likuidasi atau pembagian dana dari saham yang mereka miliki sebelum atau selama IPO berlangsung. Setiap keputusan merger harus memperoleh dukungan minimal 75% suara pemegang saham atau pemegang saham independen, tidak termasuk sponsor dan afiliasinya. Jika 25% dari pemegang saham menolak rencana merger, mereka memiliki hak untuk menebus sahamnya (redemption right) dengan pengembalian dana sesuai harga IPO. Kelima, tahap akhir dari siklus SPAC adalah kombinasi bisnis atau likuidasi. Tujuan utama pendirian SPAC adalah menghimpun dana publik untuk kemudian digunakan mengakuisisi atau bergabung dengan perusahaan target. Di Singapura, ketentuan mensyaratkan bahwa SPAC harus menyelesaikan merger dalam jangka waktu maksimal 24 bulan sejak pencatatan, dan dalam keadaan tertentu dapat diperpanjang hingga 36 bulan. Transaksi merger tersebut harus mendapat persetujuan dari setidaknya 50% pemegang saham. Berdasarkan Rule 754(3), setiap SPAC juga diwajibkan melaporkan penggunaan dan pengelolaan dana secara triwulanan kepada bursa. Apabila hasil merger tidak memenuhi standar pencatatan atau melanggar ketentuan pasar modal, SGX berhak menghapus pencatatan (delist) perusahaan tersebut demi kepentingan publik. Sebaliknya, jika merger gagal memperoleh persetujuan mayoritas, tidak diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, atau bursa memerintahkan penghapusan pencatatan, SPAC wajib dilikuidasi dan mengembalikan seluruh dana yang tersimpan kepada investor publik. Dengan demikian, kerangka regulasi SPAC di Singapura membangun sistem yang menyeimbangkan antara fleksibilitas korporasi dan perlindungan publik. SGX berupaya menciptakan ekosistem SPAC yang kredibel dengan menetapkan standar tinggi terhadap reputasi sponsor, keamanan dana investor, transparansi tata kelola, dan disiplin waktu merger sehingga SPAC dapat berfungsi sebagai instrumen pembiayaan yang efisien tanpa mengorbankan integritas pasar dan perlindungan investor ritel.

Bagaimana pengimplementasian SPAC di Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

Berdasarkan Berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 UU PT jo. Pasal 109 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”), Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang didirikan untuk menjalankan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Selanjutnya, ketentuan III.1.1. Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat (“Peraturan Bursa Efek No. I-A”) menegaskan bahwa badan usaha yang dapat mencatatkan sahamnya di BEI adalah badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas. Dengan demikian, SPAC sebagai calon emiten wajib terlebih dahulu berbentuk PT agar memenuhi persyaratan formal pencatatan saham di bursa.

Selaras Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PT, status badan hukum suatu perseroan baru diakui setelah akta pendiriannya memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum (“Menkum”). Akta pendirian tersebut harus memuat maksud dan tujuan pendirian serta kegiatan usaha yang akan dijalankan. Ketentuan ini menegaskan bahwa unsur “kegiatan usaha” merupakan elemen substantif dalam pendirian PT. Dalam konteks SPAC, karakteristiknya sebagai perusahaan tanpa kegiatan usaha (non-operating shell company) menimbulkan persoalan hukum karena belum memiliki aktivitas ekonomi riil sebelum melaksanakan akuisisi. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan prinsip UU PT, SPAC perlu mencantumkan maksud dan tujuan pendirian yang berorientasi pada kegiatan investasi atau akuisisi korporasi, agar tetap sejalan dengan asas keberlanjutan usaha (going concern) yang menjadi karakter hukum Perseroan Terbatas.

Selaras dengan hal tersebut, sistem perizinan berusaha di Indonesia juga menuntut kepastian kegiatan ekonomi melalui pendekatan berbasis risiko sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 28/2025”). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 PP 28/2025, setiap badan usaha wajib memperoleh perizinan berusaha untuk melaksanakan kegiatan komersial atau operasional. Kemudian, Pasal 207 ayat (1) dan ayat (4) PP 28/2025 menentukan bahwa PT harus mencantumkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”) melalui sistem Online Single Submission (“OSS”) Kementerian Hukum. KBLI berfungsi untuk mengklasifikasikan bidang kegiatan ekonomi suatu entitas, sehingga SPAC perlu memilih kode KBLI yang relevan, misalnya pada bidang jasa investasi atau kegiatan holding, agar memperoleh izin berusaha secara sah tanpa mengubah karakter dasarnya sebagai perusahaan akuisisi.

Selanjutnya, karena kegiatan SPAC secara langsung berkaitan dengan penghimpunan dana publik dan penerbitan efek, maka entitas ini juga tunduk pada ketentuan UU PM. Berdasarkan Pasal 1 angka 13 UU PM, kegiatan penawaran umum (public offering) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memenuhi ketentuan perizinan dan keterbukaan informasi dari OJK. Oleh karena itu, pengimplementasian SPAC di Indonesia memerlukan pengaturan tambahan yang secara khusus menyesuaikan struktur penawaran saham SPAC dengan prinsip-prinsip pasar modal, termasuk skema escrow, hak penebusan (redemption rights), serta perlindungan investor minoritas.

Lebih lanjut, UU PT sendiri memberikan landasan bagi pengaturan khusus tersebut melalui Penjelasan Pasal 154 ayat (1) dan ayat (2) yang menegaskan perlunya kemungkinan pembentukan peraturan tersendiri terkait sistem penyetoran di pasar modal, pembelian kembali saham, dan pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”). Penjelasan ayat (2) menegaskan bahwa pengaturan tersebut harus tetap berlandaskan pada hakikat dan prinsip dasar perseroan sebagaimana diatur dalam UU PT. Dengan demikian, baik secara normatif, dasar hukum nasional telah membuka ruang bagi keberadaan SPAC untuk diatur secara khusus oleh OJK dan BEI. Regulasi ini diperlukan agar karakteristik SPAC sebagai entitas pasar modal dapat diakomodasi tanpa mengabaikan prinsip good corporate governance, keterbukaan, serta perlindungan investor yang menjadi pilar hukum pasar modal Indonesia.

KESIMPULAN

Keberadaan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) mencerminkan dinamika inovasi dalam pasar modal global yang menawarkan jalur alternatif bagi perusahaan untuk memperoleh pendanaan publik secara lebih cepat dan efisien. SPAC memberikan ruang negosiasi valuasi yang lebih fleksibel serta akses terhadap jejaring strategis dari pihak sponsor. Pada konteks Indonesia, skema ini berpotensi mendorong pertumbuhan ekosistem usaha, khususnya bagi perusahaan rintisan yang membutuhkan ekspansi cepat menuju skala pasar yang lebih luas. Dengan demikian, SPAC memiliki prospek strategis dalam memperkuat daya saing pasar modal nasional serta mendukung agenda pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Peluang hadirnya SPAC dalam regulasi Indonesia masih sulit untuk dapat direalisasikan sepenuhnya karena struktur dan mekanisme SPAC tidak sepenuhnya selaras dengan landasan hukum yang saat ini berlaku. SPAC sebagai perusahaan tanpa kegiatan usaha belum sejalan dengan asas keberlanjutan usaha dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, serta belum adanya pengaturan eksplisit dalam rezim pasar modal mengenai penempatan dana investor, hak penebusan, pengelolaan waran, dan pengawasan sponsor. Sementara itu, praktik di Amerika Serikat dan Singapura menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi SPAC bergantung pada kejelasan regulasi, disiplin transparansi, dan mekanisme perlindungan investor yang kuat.

Agar SPAC dapat diadopsi secara bertanggung jawab di Indonesia, diperlukan pembentukan kerangka regulasi yang komprehensif dan terintegrasi antara Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pasar Modal, serta ketentuan OJK dan Bursa Efek Indonesia. Regulasi tersebut perlu memberikan kejelasan mengenai tujuan pendirian SPAC, pengelolaan dana publik melalui escrow account, batas kepemilikan dan periode penguncian sponsor, tata cara penggabungan dengan perusahaan target, hingga pengaturan yang menjamin hak-hak investor, khususnya investor ritel. Pengaturan yang jelas, transparan, dan konsisten akan memungkinkan SPAC berfungsi sebagai instrumen pembiayaan yang inovatif tanpa mengorbankan integritas pasar modal dan perlindungan investor.

Dengan harmonisasi regulasi tersebut, SPAC dapat berperan sebagai sarana yang mendorong pertumbuhan investasi, memperluas akses pendanaan bagi pelaku usaha nasional, serta menjadikan pasar modal Indonesia lebih kompetitif dan responsif terhadap perkembangan global, sekaligus tetap menempatkan asas kehati-hatian, transparansi, dan keadilan sebagai prinsip utama dalam penyelenggaraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Regulasi

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

  2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

  4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

  5. Peraturan Bursa Efek Indonesia Nomor 1-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat.

Jurnal

  1. Bruck, O. “SPACs: Spectacular Investments or Speculative Bets? Analysis of the Post-Merger Common Stock Performance of the ‘SPAC Frenzy’ in 2020,” Social Science Research Network (SSRN), 2021, https://doi.org/10.2139/ssrn.4051204.

  2. Feranda, K. R., & Kharisma, D. B. (2025). Problematika Regulasi pada Potensi Special Purpose Acquisition Company (SPAC) di Indonesia. Indonesian Journal of Social Sciences and Humanities, 5(2), 243-249.

  3. Gunawan, E. & Arifin, R. (2024). SPAC sebagai Alternatif Aksi Korporasi di Indonesia: Analisis Hukum terhadap Prinsip Perseroan dan Pasar Modal. Padjadjaran Journal of Law, Vol. 11(1): 115–134.

  4. Heredia, T. de, Galiano, J. F., & Garcia, M. “The SPACs Boom: Europe Picks Up the Pace,” Deloitte, 2021, https://www2.deloitte.com/.

  5. Hidayat, R. A. (2023). Problematika Regulasi dan Peluang Pembentukan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 53(3): 341–362.

  6. Lu, L. (2022). Singapore Exchange embraces the listing of Special Purpose Acquisition Companies (SPACs): Motivations, advantages, and regulations. Company Lawyer, 43(9), 299.

  7. Puspitasari, D. & Sutanto, M. (2024). Urgensi Pengaturan SPAC di Indonesia dalam Perspektif Hukum Pasar Modal. Jurnal Lex Privatum, Vol. 12(2): 177–193.

  8. SEC. (2021). Nikola Corporation to Pay $125 Million to Resolve Fraud Charges. SEC. https://www.sec.gov/newsroom/press-releases/2021-267

  9. SPAC Analytics, “SPAC and US IPO Activity,” SPAC Analytics, 2025, https://www.spacanalytics.com/.

  10. Sugama, N. M. R. (2023). Analisis Hukum Terkait Penerapan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) di Indonesia. UNES Law Review, 6(1), 1958-1966.

  11. Tan, D., Tan, L., & Chan, Y. “Decoding the Special Purpose Acquisition Companies,” Public Journal of International and Humanities Studies (PJIH) 11, no. 1 (2024): 45-67, https://journal.unpad.ac.id/pjih/vol11/iss1/6.

  12. Yanda Saputra, Siti Mahmudah & Islamiyati, ‘Kajian Terhadap Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perusahaan Terbuka dengan Diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 15/POJK.04/2020’ (2021) 10 Diponegoro Law Journal 545.

Artikel

  1. ‘Regulatory Challenges to Allowing SPAC IPOs in Indonesia’ (SPAC Conference News, 26 October 2022) https://news.spacconference.com/2022/10/26/regulatory-challenges-to-allowing-spac-ipos-in-indonesia/. bang al, main ml nanti

  2. ‘Regulatory Challenges to Allowing SPAC IPOs in Indonesia’ (SPAC Conference News, 26 October 2022) https://news.spacconference.com/2022/10/26/regulatory-challenges-to-allowing-spac-ipos-in-indonesia/.

  3. “Bursa Mau Terapin Aturan Akuisisi Bertujuan Khusus, Apa Itu?” IndoPremier Sekuritas (2 Februari 2023) https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Bursa_Mau_Terapin_Aturan_Akuisisi_Bertujuan_Khusus__Apa_Itu_&news_id=412709&group_news=RESEARCHNEWS&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman=1.

  4. Ntokozo Ngubeni, ‘SPACs vs IPOs: what are the differences?’ IG (21 January 2022) https://www.ig.com/en/trading-strategies/spacs-vs-ipos--what-are-the-differences--220110.

  5. Kison Patel, ‘SPACs vs. IPO: What’s the difference?’ DealRoom Blog (3 December 2024)https://dealroom.net/blog/spac-vs-ipo.

Skripsi

George Andreas Hasiholan, Permasalahan Perlindungan Investor dalam Special Purpose Acquisition Company (SPAC) (Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023), hlm. 23.