TALK OVER LEGAL DEBAT VOL. 2
Divisi Debat
Shofwa Khibran, Mutiara Khairunnisa, Rico Alamsyah, Kresna Nur, Devina Muthia, Reva Ario, Chatrine Sri.
9/1/202510 min read
RUU KUHAP : PERLINDUNGAN HAM ATAU PENYALAHGUNAAN WEWENANG?
Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") memiliki peran krusial dalam mengatur prosedur teknis mengenai peradilan pidana di Indonesia. Hadirnya Rancangan Undang-Undang tentang KUHAP (“Rancangan KUHAP”) tidak terlepas dari pembaruan terhadap hukum pidana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Nasional”) yang memperbarui kriteria dan jenis-jenis tindak pidana. Untuk mengakomodasi pembaruan hukum pidana tersebut, diperlukan adanya penyesuaian sistemis terhadap hukum acara tindak pidana sehingga dapat menjamin efektivitas dari peradilan pidana di Indonesia. Dalam Rancangan KUHAP terdapat beberapa ketentuan baru, yaitu adanya mekanisme pengakuan bersalah oleh terdakwa (plea bargain), pelembagaan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) yang dilaksanakan di luar pengadilan, dan penguatan hak imunitas advokat untuk menjamin perlindungan advokat dalam proses penegakan hukum. Melalui pembaruan tersebut, Rancangan KUHAP dicita-citakan untuk dapat mewujudkan hukum yang bernurani keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum sehingga dapat membawa perubahan signifikan terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Rancangan KUHAP sejatinya ditujukan untuk membangun sistem peradilan pidana yang lebih responsif dan akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat akan keadilan. Akan tetapi, hadirnya ketentuan-ketentuan baru dalam Rancangan KUHAP justru membuktikan sebaliknya. Hal ini dikarenakan beberapa ketentuan yang termuat dalam Rancangan KUHAP dinilai oleh masyarakat dapat mencederai nilai keadilan dan demokrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di antaranya, yaitu pertama, kedudukan polisi sebagai penyidik utama dalam perkara pidana disinyalir dapat memunculkan potensi kesewenang-wenangan dikarenakan polisi akan memiliki kedudukan penyidik tertinggi. Kedua, penghapusan peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan (“HPP”) dalam mengawasi pelaksanaan upaya paksa pada proses penyidikan berisiko untuk memunculkan ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum karena nihilnya mekanisme kendali yang menjamin pelaksanaan upaya paksa secara adil. Ketiga, ketentuan mekanisme restorative justice pada saat penyelidikan dan penyidikan dalam Rancangan KUHAP justru membuka celah korupsi dan gratifikasi karena berpotensi mengakibatkan penyelidik dan penyidik justru berpotensi untuk merekayasa alat bukti, tersangka, serta bentuk tindak pidana yang dilakukan. Alih-alih menjadi reformasi hukum pidana formil yang berkeadilan Rancangan KUHAP justru memiliki resiko untuk mencederai nilai keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum.
Pro: Rancangan KUHAP sebagai Perwujudan Reformasi Sistem Hukum dan Upaya Penguatan Hak Asasi Manusia
Dukungan terhadap pembaruan KUHAP didasari oleh pandangan bahwa hukum acara pidana saat ini masih mengadopsi hukum kolonial dan dinilai sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Dalih utama yang mendasari pembaruan ini adalah kebutuhan akan sistem peradilan pidana yang lebih adaptif, memperkuat perlindungan hak asasi manusia (“HAM”), dan sebagai upaya penyelarasan dengan KUHP Nasional. Pembaruan terhadap KUHAP diharapkan dapat menjadi pijakan hukum acara yang lebih adil dan efisien sehingga sejalan dengan semangat reformasi hukum nasional.
Plea Bargain sebagai Upaya Percepatan Penyelesaian Perkara
Plea Bargain merupakan mekanisme yang memberi ruang bagi penuntut umum dan terdakwa serta penasehat hukumnya untuk melakukan negosiasi terkait isi dakwaan atau tuntutan pidana yang diberikan. Mekanisme ini umumnya dilakukan pada tahap persidangan, sebelum pemeriksaan pembuktian secara lengkap. Dalam negosiasi, kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan, misalnya terdakwa bersedia mengakui kesalahan tertentu dengan imbalan terdakwa akan mendapatkan tuntutan yang lebih ringan. Setelah kesepakatan tercapai, hakim berperan untuk mengawasi dan mengesahkan hasil kesepakatan tersebut, memastikan bahwa pengakuan dilakukan secara sukarela dan sesuai hukum. plea bargaining bertujuan untuk mempercepat penyelesaian perkara dan menghemat sumber daya peradilan.
Urgensi penerapan plea bargaining semakin terlihat dengan adanya data yang disampaikan dalam Sidang Istimewa Laporan Tahunan 2024 oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Sunarto, yang mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024 pengadilan tingkat pertama menangani hingga 2.927.815 perkara yang merupakan jumlah sangat besar, yakni mencapai. Tingginya jumlah perkara yang masuk ke pengadilan tersebut mengakibatkan proses peradilan menjadi semakin mahal, memakan waktu, serta berpotensi menimbulkan penumpukan perkara (case backlog). Oleh karena itu, plea bargaining dipandang sebagai solusi praktis untuk menjaga sistem peradilan tetap berfungsi secara efektif.
Mekanisme plea bargaining termaktub dalam Pasal 221 Rancangan KUHAP yang menyatakan jika terdakwa dengan ancaman pidana tidak lebih dari 7 tahun mengakui kesalahan setelah jaksa membacakan dakwaan, perkara dapat dialihkan ke sidang pemeriksaan singkat. Hakim kemudian memastikan bahwa terdakwa memahami hak-haknya, menyadari konsekuensi pidana, dan memberikan pengakuannya secara sukarela. Sebagai kompensasi, pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum ancaman. Akan tetapi, hakim masih memiliki kewenangan untuk menolak pengakuan tersebut apabila hakim meragukan kejujuran terdakwa.Mekanisme ini dapat mempersingkat tahap pembuktian yang panjang sehingga mempercepat penyelesaian perkara dan menekan biaya peradilan. Selain itu, mekanisme ini dapat mengurangi beban perkara di pengadilan yang setiap tahunnya terus meningkat sehingga hakim dan jaksa dapat lebih fokus pada perkara-perkara lain yang lebih kompleks. Oleh karena itu, mekanisme plea bargaining dalam Rancangan KUHAP dapat menawarkan efisiensi terhadap sistem peradilan pidana.
Jika dibandingkan dengan Jerman, Jerman mulai mengadopsi mengadopsi sistem plea bargain dan telah disesuaikan dengan sistem inkuisitorial yang diterapkan sejak tahun 1980 sebagai praktik lazim hakim hingga menjadi landasan hukum pada tahun 1987. Plea Bargaining digunakan untuk menjawab permasalahan kasus kejahatan yang tinggi pada saat itu. Penangan perkara pidana yang tinggi saat itu, tidak terlepas dari sebab sebab proses persidangan yang panjang. Oleh karena itu, jerman menerapkan mekanisme plea bargaining pada saat ditutupnya proses penyelidikan sehingga mempersingkat proses persidangan dan tercapainya efisiensi waktu. kesuksesan jerman dalam mengkonstruksikan sistem peradilan pidana yang efisien terbukti dari Jerman yang menempati peringkat 5 dunia dalam indeks keadilan pidana, khususnya mendapatkan peringkat 1 dalam pilar Due process of the law and rights of the accused.
Perluasan mekanisme restorative justice
Pasal 1 angka 18 Rancangan KUHAP memaknai mekanisme restorative justice sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana dengan melibatkan korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait dengan tujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula. Melalui keterlibatan semua pihak, diharapkan tercapai penyelesaian yang lebih manusiawi dan adil dengan adanya pemulihan kondisi psikologis, sosial, dan material yang dialami korban. Dengan demikian, penyelesaian perkara pidana tidak semata-mata menekankan pada pembalasan, tetapi pada pemulihan dan restorative justice bagi seluruh pihak yang terdampak.
restorative justice dalam Rancangan KUHAP diatur secara khusus dalam BAB tersendiri, yaitu pada BAB IV mengenai Mekanisme restorative justice. Pasal 74 ayat (1) Rancangan KUHAP secara tegas menyatakan bahwa mekanisme restorative justice dilaksanakan melalui penyelesaian perkara di luar pengadilan, yang menandakan pengakuan negara terhadap pentingnya penyelesaian berbasis pemulihan.. Dengan membuka ruang penerapan di berbagai tahap proses hukum—mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan–Rancangan KUHAP memberikan kesempatan lebih besar bagi tercapainya penyelesaian yang berkeadilan, humanis, dan partisipatif. Hal ini sejalan dengan semangat KUHP Nasional yang merumuskan tujuan pemidanaan secara progresif, yakni untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, serta menciptakan rasa aman dan damai dalam masyarakat. Dengan demikian, Rancangan KUHAP dapat dipandang sebagai instrumen yang mendukung dan memperluas penerapan restorative justice.
Penguatan Hak Imunitas Advokat
Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) memiliki hak-hak fundamental yang melekat dalam menjalankan profesinya. Salah satu hak tersebut adalah hak imunitas. Hak imunitas, sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 UU Advokat, merupakan suatu proteksi bagi advokat yang membebaskan advokat dari tuntutan perdata maupun pidana dalam menjalankan tugasnya selama dilaksanakan dengan itikad baik.. Dengan hak imunitas tersebut, advokat dapat menjalankan tugasnya secara bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dengan tetap memperhatikan aspek keadilan. Pasal tersebut dipertegas dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XII/2013 yang tidak hanya memberikan hak imunitas kepada advokat di dalam pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. Putusan tersebut beranjak dari adanya kasus Petrus Bala Pattyona yang ditetapkan sebagai tersangka karena membela kliennya yang merupakan tersangka dalam tindak pidana narkotika. Kasus tersebut membuktikan adanya intervensi dan ancaman bagi advokat apabila hak imunitas tidak diregulasi secara jelas dan tegas. Kemudian, muatan tersebut kembali diadopsi oleh Rancan KUHAP, tepatnya dalam Pasal 143 ayat (2) Rancangan KUHAP (draf 13 Juli 2025).
Materi muatan mengenai hak imunitas advokat yang kembali diatur dalam Rancangan KUHAP telah sejalan dengan prinsip fair trial. Fair trial menekankan bahwa setiap orang berhak memperoleh peradilan yang jujur, imparsial, dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku sehingga mewujudkan kesetaraan dalam posisi penuntut umum dan penasehat hukum secara adil. Implikasinya adalah dengan hak imunitas, advokat akan terlindungi dari segala intervensi dan tekanan eksternal. Dengan hal tersebut advokat dapat menjamin hak yang dimilikinya maupun hak klien untuk mendapatkan pembelaan. Selain itu, tanpa hadirnya hak imunitas, prinsip due process of law atau proses hukum yang adil dalam suatu peradilan tidak akan tercapai karena mudahnya kriminalisasi terhadap advokat sehingga gagal untuk menjamin hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan. Oleh karena itu, penguatan hak imunitas menjadi salah satu alasan pentingnya kehadiran pembaruan KUHAP dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kontra: Menilik Berbagai Kontroversi dalam RUU KUHAP
Penolakan terhadap pembaruan KUHAP berakar dari kekhawatiran bahwa Rancangan KUHAP dinilai justru mengancam prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi. Hal ini dilandasi anggapan bahwa sejumlah ketentuan dalam Rancangan KUHAP berpotensi memperluas kewenangan aparat penegak hukum secara berlebihan. Hal ini dikhawatirkan akan membuka ruang kesewenang-wenangan, melemahkan perlindungan hak asasi manusia, dan menciderai hak-hak tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana.
Risiko Kesewenangan oleh Aparat
Salah satu alasan dibalik pembaharuan KUHAP sebagaimana termuat dalam Naskah Akademik Rancangan KUHAP adalah untuk memberikan perlindungan hukum serta HAM, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum. Sayangnya, pasal-pasal yang dicanangkan dalam draf tersebut justru memperlihatkan hal yang sebaliknya. Seperti adanya Pasal 6 ayat (1) dan (2) Rancangan KUHAP yang dikhawatirkan beresiko membuka peluang kesewenangan aparat penegak hukum. Hal tersebut lantaran Rancangan KUHAP menetapkan kepolisian sebagai penyidik utama untuk hampir seluruh tindak pidana, dengan wewenang yang sangat luas dan minim pengawasan. Hal ini jelas menciptakan dominasi dalam proses penyidikan yang dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran HAM. Hal ini didukung dari data Komnas HAM yang menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 771 pengaduan pelanggaran HAM yang melibatkan Polisi Republik Indonesia (“Polri”), menempatkannya sebagai institusi dengan jumlah pengaduan tertinggi. Kemudian, dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Rancangan KUHAP menetapkan bahwa penyerahan berkas perkara dari penyidik non-Polri, termasuk Komisi Pemberantas Korupsi harus dilakukan melalui koordinasi dengan penyidik Polri sehingga berpotensi memperlambat proses penuntutan dan membuka celah praktik koruptif. Dalam konteks pemberantasan korupsi, hal tersebut merupakan kemunduran besar karena KPK tidak lagi dapat menyerahkan berkas perkara secara langsung kepada Jaksa Penuntut Umum. Perubahan ini juga mengabaikan peran penyidik lain seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) yang sebelumnya memiliki kewenangan di bidang tertentu sehingga berpotensi memperlambat proses hukum dan menimbulkan ketidakpastian dalam penanganan kasus pidana. Hal ini bertentangan dengan Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang mengatur tugas Polri melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, PPNS, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa sehingga seharusnya koordinasi dilakukan terkait polisi khusus dan PPNS, bukan justru terhadap penyidik tertentu sebagaimana disebut Rancangan KUHAP.
Penghapusan Peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (“HPP”) merupakan konsep dalam sistem hukum acara pidana yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk memberikan izin atau persetujuan sebelum dilakukannya berbagai tindakan, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan dalam pelaksanaan upaya paksa oleh aparat penegak hukum selama proses penyidikan. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan bahwa setiap upaya paksa dilakukan secara proporsional, sah menurut hukum, dan tidak sewenang-wenang, serta menjunjung HAM. Konsep HPP ini sebelumnya telah diusung dalam draf Rancangan KUHAP tahun 2012 sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat sipil untuk memperkuat perlindungan hak tersangka/terdakwa. Akan tetapi, konsep HPP ini dihapuskan dalam draf Rancangan KUHAP terbaru dengan alasan bahwa penghapusan ini didasarkan pada kendala geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang belum merata sehingga mempersulit hakim untuk memberikan izin secara cepat dan dianggap tidak praktis. Namun, alasan tersebut dianggap tidak tepat dan cenderung mengabaikan prinsip negara hukum. Hal ini lantaran efisiensi tidaklah boleh mengorbankan hak fundamental warga negara, termasuk hak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Selain itu, kemajuan teknologi informasi seharusnya dapat dioptimalkan untuk mengatasi kendala jarak dan geografis, misalnya melalui mekanisme persetujuan elektronik atau video conference.
Implikasi negatif dari penghapusan HPP sangatlah serius, tanpa mekanisme pengawasan ex-ante (sebelum tindakan diambil), penyidik memiliki kewenangan diskresi yang hampir tanpa batas dalam menjalankan upaya paksa. Pada Tahun 2024, Pengadilan Negeri Bandung melalui putusan praperadilan menyatakan bahwa penetapan tersangka Pegi Setiawan dalam kasus pembunuhan Vina Cirebon tidak sah secara hukum. Putusan ini membebaskan Pegi dari tahanan setelah beberapa minggu mengalami penahanan bahkan beberapa upaya kriminalisasi oleh penyidik Polri untuk memaksa Pegi mengakui tindakannya. Praperadilan memang akhirnya mengoreksi, tetapi sifatnya hanya korektif setelah sejumlah kerugian yang terjadi kepada Pegi. Di sinilah signifikansi HPP menjadi jelas, yang mana apabila HPP sudah hadir sejak tahap penyelidikan atau penyidikan awal, maka penetapan tersangka dan penahanan dalam kasus tersebut dapat diuji sebelum dilaksanakan sehingga pelanggaran hak asasi manusia dapat dicegah. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa adanya mekanisme pengawasan oleh HPP dapat berpotensi melanggar HAM dengan merenggut kebebasannya secara sewenang-wenang akibat penetapan tersangka yang keliru dan oleh aparat penegak hukum.
Jika berkaca pada Belanda, Belanda telah menerapkan HPP yang berperan untuk mengawasi penyelidikan oleh aparat seperti mengizinkan penyadapan, memeriksa bukti dan membuat keputusan tentang penahanan pra-peradilan sehingga mencegah kesewenang-wenangan aparat. Sebagaimana pada September 2021 terdapat permintaan jaksa penuntut umum untuk memperpanjang masa penahanan pra-persidangan tersangka yang diduga terlibat dalam kasus kematian perempuan yang terjatuh dari tangga di Ijsselstein. Hakim pemeriksa menolak permintaan tersebut karena tidak terdapat alasan kuat untuk memperpanjang masa tahanan tersangka. Hal ini mengindikasikan hadirnya hakim pemeriksa mampu menjamin setiap proses pra-peradilan tetap proporsional dan berkeadilan. Membuktikan bahwa penghapusan HPP berimplikasi kepada rentannya tindakan sewenang-wenang dari aparat dalam melakukan proses hukum sehingga hal ini berimplikasi pada ketidakadilan.
Penyimpangan restorative justice pada Tahap Penyelidikan
Dalam Pasal 74 ayat (2) Rancangan KUHAP mengatur mengenai mekanisme restorative justice yang dapat dilakukan pada tahap penyelidikan. Sebagaimana Pasal 1 KUHAP mendefinisikan penyelidikan yang merupakan rangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana sehingga restorative justice pada tahap penyelidikan menimbulkan keabu-abuan karena belum terdapat pemrosesan laporan dan alat bukti sebagai bahan untuk menentukan bentuk tindak pidana. Hal tersebut dapat berdampak pula terhadap penyelesaian suatu kasus tanpa adanya kejelasan sehingga berpotensi melewatkan kasus yang seharusnya diproses secara hukum. Mekanisme restorative justice yang diterapkan dalam tahap penyelidikan dan penyidikan justru berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Tanpa adanya sistem pengawasan yang transparan, proses ini dapat menimbulkan adanya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan. Seperti adanya potensi menjadi ruang transaksional bagi penyelidik yang pada hilirnya akan menciptakan proses penyelidikan kasus yang direkayasa menurut kepentingan orang bersangkutan.
Sebagai contoh penerapan mekanisme restorative justice yang tidak melahirkan keadilan bagi korban dapat terlihat pada kasus perkosaan pegawai perempuan Kemenkop UKM oleh empat rekan kerjanya pada Desember 2019. Kasus perkosaan tersebut dihentikan di tahap penyidikan oleh Polresta Bogor Kota sebab keluarga pelaku yang mendesak untuk diselesaikan di luar proses hukum serta didukung oleh aparat dengan mengarahkan korban untuk diselesaikan melalui perdamaian dan perkawinan dengan salah satu pelaku. Kasus tersebut sempat ditutup pada tahun 2020 setelah Polresta Bogor mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang diterbitkan secara sepihak dengan alasan telah selesai melalui restorative justice tanpa sepengetahuan korban. Akhirnya, pada 7 Desember 2022 kasus ini dilanjutkan kembali setelah sejumlah upaya yang dilakukan untuk membuka kembali kasus tersebut.
Kesimpulan
Beberapa pertimbangan atas urgensi persetujuan atau penolakan terhadap Rancangan KUHAP saat ini dapat disimak dalam dua perspektif sebagai berikut:
1. Pertimbangan Persetujuan:
Hadirnya mekanisme plea bargain berfungsi untuk menjadi mekanisme penyelesaian perkara secara efisien, serta lebih mengakomodasi hak terdakwa untuk mendapatkan keadilan sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
Legitimasi dan perluasan daripada mekanisme restorative justice membuka adanya jalan perdamaian antara pelaku dan korban dalam tindak pidana sebagai bentuk keadilan yang lebih humanis dan partisipatif
Pemuatan daripada hak imunitas advokat dalam Rancangan KUHAP secara eksplisit akan menjadi landasan yuridis yang lebih efektif untuk menjamin perlindungan hak bagi advokat dalam menjalankan tugasnya sebagai sosok penasehat hukum.
2. Pertimbangan Penolakan:
Kedudukan polisi sebagai penyidik utama terhadap seluruh tindak pidana menjadi celah atas kesewenang-wenangan aparat, serta tumpang-tindih tupoksi dengan penyidik lainnya seperti PPNS dalam menjalankan tugasnya.
Penghapusan HPP untuk mengawasi pelaksanaan upaya paksa justru membuka risiko besar untuk menderogasi hak tersangka untuk bebas dari kesewenang-wenangan dalam proses penyidikan.
Pelaksanaan mekanisme restorative justice yang dapat dilakukan pada tahap penyelidikan dan penyidikan berpotensi untuk menghasilkan adanya intervensi, ketiadaan transparansi, bahkan rekayasa dari laporan tindak pidana dan alat bukti
Daftar Pustaka
Arif, K. (2018). Perlindungan Hukum terhadap Hak Imunitas Advokat dalam Penegakan
Hukum di Indonesia. Iqtisad 5 (1), 23-42. https://doi.org/10.31942/iq.v5i1.2206.
BBC News Indonesia. “Polisi janji 'lanjutkan' kasus dugaan pemerkosaan di Kemenkop UKM meski dihentikan pengadilan, keluarga korban: ‘Negara jangan kalah dengan pelaku pemerkosaan’’. Kasus dugaan pemerkosaan di Kemenkop UKM, penyidikan 'akan dilanjutkan' – ‘Negara jangan kalah dengan pelaku pemerkosaan’ - BBC News Indonesia.
Cahyani, F, dkk. (2021). Kedudukan Hak Imunitas Advokat di Indonesia. Jurnal USM Law Review 4 (1), 146-160. https://doi.org/10.26623/julr.v4i1.3328
Home de Rechtspraak. “Voorarrest verdachte in zaak overladen vrouw IJsselstein niet verlengd, raadkamer laat beslissing rechter-commissaris in stand”. https://www.rechtspraak.nl/Organisatie-en-contact/Organisatie/Rechtbanken/Rechtbank-Midd en-Nederland/Nieuws/Paginas/Voorarrest-verdachte-in-zaak-overleden-vrouw-IJsselstein-niet -verlengd.
Latipulhayat. (2017). Due process of Law. Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum 4(2). i-iv. https://doi.org/10.22304/pjih.v4n2.a0
Turner, J. I. (2006). Judicial Participation in Plea Negotiations: A Comparative View (2006). American Journal of Comparative Law, 54. 199-268., https://ssrn.com/abstract=871979
Turner, J. I. (2016). Plea Bargaining and Disclosure in Germany and the United States: Comparative Lessons (2016). William & Mary Law Review, 57, 1549-1596. SMU Dedman School of Law Legal Studies Research Paper No. 183, https://ssrn.com/abstract=2659372 1549-1596
World Justice Project, (2024), Rule of Law Index, World Justice Project. Available at: https://worldjusticeproject.org/rule-of-law-index/country/Germany (Accessed: August 31, 2025).